Selembut embun di pagi hari, tengadah tangan sepuluh jari, ucapkan salam setulus hati Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Di bulan Ramadhan, Mohon Maaf lahir dan batin. Merdekakan Hatimu Sucikan jiwamu sambut kemenangan dengan ketakwaan dibulan penuh ampunan SELAMAT HARI KEMERDEKAN & BULAN SUCI RAMADHAN

Rabu, 18 Agustus 2010

Bukan Pria Idaman



Ada artikel yang sangat menarik yang saya copas dari Rumaysho.com. Mudah-mudahan bermanfaat.

Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.

Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingain buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.
Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid)
Berarti jika aqidah dan iman seseorang rusak -padahal itu adalah pokok atau pondasi-, maka bangunan di atasnya pun akan ikut rusak. Perhatikanlah hal ini!

Ciri Kedua: Menyia-nyiakan Shalat

Tidak shalat jama’ah di masjid juga menjadi ciri pria bukan idaman. Padahal shalat jama’ah bagi pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an dan berbagai hadits. Berikut di antaranya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».

”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim). Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».

“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!
Imam Asy Syafi’i sendiri mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107)
Jika pria yang menyia-nyiakan shalat berjama’ah di masjid saja bukan merupakan pria idaman, lantas bagaimana lagi dengan pria yang tidak menjalankan shalat berjama’ah sendirian maupun secara berjama’ah?!
Seorang ulama besar, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Ciri Ketiga: Sering Melotot Sana Sini

Inilah ciri berikutnya, yaitu pria yang sulit menundukkan pandangan ketika melihat wanita. Inilah ciri bukan pria idaman. Karena Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya.
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Boleh jadi laki-laki tersebut jika telah menjadi suami malah memandang lawan jenisnya sana-sini ketika istrinya tidak melihat. Kondisi seperti ini pun telah ditegur dalam firman Allah,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir: 19)
Ibnu ‘Abbas ketika membicarakan ayat di atas, beliau mengatakan bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seorang yang bertamu ke suatu rumah. Di rumah tersebut ada wanita yang berparas cantik. Jika tuan rumah yang menyambutnya memalingkan pandangan, maka orang tersebut melirik wanita tadi. Jika tuan rumah tadi memperhatikannya, ia pun pura-pura menundukkan pandangan. Dan jika tuan rumah sekali lagi berpaling, ia pun melirik wanita tadi yang berada di dalam rumah. Jika tuan rumah sekali lagi memperhatikannya, maka ia pun pura-pura menundukkan pandangannya. Maka sungguh Allah telah mengetahui isi hati orang tersebut yang akan bertindak kurang ajar. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (12/181-182).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah itu mengetahui setiap mata yang memandang apakan ia ingin khianat ataukah tidak.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Qotadah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 12/182, Darul Qurthubah)

Ciri Keempat: Senangnya Berdua-duaan

Inilah sikap pria yang tidak baik yang sering mengajak pasangannya yang belum halal baginya untuk berdua-duaan (baca: berkhalwat). Berdua-duaan (khokwat) di sini bisa pula bentuknya tanpa hadir dalam satu tempat, namun lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via FB dan lainnya. Seperti ini pun termasuk semi kholwat yang juga terlarang.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Ciri Kelima: Tangan Suka Usil

Ini juga bukan ciri pria idaman. Tangannya suka usil menyalami wanita yang tidak halal baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.
Dari Abdulloh bin ‘Amr, ”Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat.” (HR. Ahmad dishohihkan oleh Syaikh Salim dalam Al Manahi As Syari’ah)
Dari Umaimah bintu Ruqoiqoh dia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Malik dishohihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaliy)
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

Ciri Keenam: Tanpa Arah yang Jelas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

“Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996)
Berarti kriteria pria idaman adalah ia bertanggungjawab terhadap istrinya dalam hal nafkah.
Sehingga seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Sejak dini atau pun sejak muda, ia sudah memikirkan bagaimana kelak ia bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Di antara bentuk persiapannya adalah dengan belajar yang giat sehingga kelak bisa dapat kerja yang mapan atau bisa berwirausaha mandiri.
Begitu pula hendaknya ia tidak melupakan istrinya untuk diajari agama. Karena untuk urusan dunia mesti kita urus, apalagi yang sangkut pautnya dengan agama yang merupakan kebutuhan ketika menjalani hidup di dunia dan akhirat. Sehingga sejak dini pun, seorang pria sudah mulai membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup untuk dapat mendidik istri dan keluarganya.
Sehingga dari sini, seorang pria yang kurang memperhatikan agama dan urusan menafkahi istrinya patut dijauhi karena ia sebenarnya bukan pria idaman yang baik.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa sebagai petunjuk bagi para wanita muslimah yang ingin memilih laki-laki yang pas untuk dirinya. Dan juga bisa menjadi koreksi untuk pria agar selalu introspeksi diri. Nasehat ini pun bisa bermanfaat bagi setiap orang yang sudah berkeluarga agar menjauhi sifat-sifat keliru di atas. Semoga Allah memudahkannya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Diselesaikan di Sleman, 21 Muharram 1431 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar